OPINI - Seorang tokoh dan pejabat negeri ini sedang sakit. Namanya Luhut Binsar Panjaitan. Publik memanggilnya LBP. Sosok yang sangat populer. Bukan hanya karena sering tampil di media, tetapi karena kontroversialnya membuat sosok ini menjadi sangat terkenal. Berani, tegas, dan blak-blakan. Soal ini, LBP konsisten. Tidak pernah berubah.
Ada yang suka, tentu banyak juga yang tidak suka. Risiko jadi pejabat, tidak bisa memaksa semua orang suka.
Baca juga:
Prabowo Temui SBY, Koalisi Anies Solid
|
Lalu, bagaimana kiprahnya di pemerintahan Jokowi? Teramat besar. Presiden Jokowi memberi kewenangan yang extra kepada LBP. Lebih dari umumnya menko-menko yang lain. Sampai-sampai, ada yang menyebutnya sebagai perdana menteri. Mungkin karena kewenangan LBP yang sangat luas.
Ada hubungan emosional dan fungsional Jokowi-Luhut. Mungkin lebih dari yang bisa dibayangkan publik. Hubungan emosional, karena Jokowi berpartner dengan LBP jauh sebelum jadi presiden. Teman lama. Hubungan fungsional, karena Jokowi sangat membutuhkan LBP di tengah posisi inferiornya di hadapan Megawati, ketum PDIP.
Baca juga:
Anies: BUMN Care Dua Tangan Negara
|
Pilihan kepada LBP ini bisa dipahami, karena ini mungkin paling tepat bagi Jokowi untuk menghindari pressure dari Megawati, ketum PDIP. Dengan LBP, Jokowi bisa berkolaborasi dengan setara. Aple to aple. LBP adalah seorang jenderal yang berani, cerdas, tegas, dan berani pasang badan. Sementara di hadapan ketum PDIP, Jokowi adalah petugas partai. Seorang anak buah. Tidak setara. Formasinya atasan-bawahan. Tentu, ini situasi yang tidak nyaman bagi seorang presiden terutama ketika ambil keputusan memungkinkan untuk selalu didekte dan mendapat intervensi. Bersama LBP, Jokowi lebih leluasa.
Boleh dibilang keputusan Jokowi adalah keputusan LBP. Keputusan LBP adalah keputusan Jokowi. Negara ini diputuskan oleh mereka berdua. Ini mungkin yang paling dominan. Selebihnya, tentu ada juga masukan-masukan atau second opinion. Hanya saja, Jokowi presiden, dan LBP menjadi bayangannya presiden. Sulit membayangkan ada kebijakan di luar kesepakatan mereka berdua. Sebab, kita tahu LBP-lah yang selalu pasang badan atas kebijakan-kebijakan Jokowi. LBP mirip Ahok ketika Jokowi menjadi gubernur DKI. Bahkan lebih dari Ahok.
Dengan LBP, itu pilihan yang tepat bagi Jokowi untuk berlindung dari tekanan PDIP. Lebih dari itu, LBP juga sosok yang berkemampuan untuk mengurus negara. Akan lebih tepat lagi sesungguhnya, jika Jokowi tidak hanya dengan LBP sebagai partner dalam mengambil kebijakan negara. Tetapi Jokowi juga butuh sejumlah orang yang sekelas LBP. Sehingga ini juga akan bisa menjadi kontrol terhadap LBP yang sering dipahami publik suka berlebihan. Ini akibat LBP menjadi satu-satunya pejabat yang diberikan kepercayaan tunggal oleh Jokowi.
Mungkin hanya LBP yang bisa memberi masukan dan masukan itu sangat didengar oleh Jokowi. Soal pengalaman, LBP sudah berkiprah di pemerintahan sejak Orde Baru. Kerjanya terukur. Walapun kadang suka kelewatan.
Saat ini, infonya LBP sedang berbaring sakit. Entah apa sakitnya, belum ada info valid. Mungkin agak serius sehingga tugasnya harus diserahkan sementara kepada Erick Tohir. Menteri BUMN yang menjadi lapis kedua dari kekuasaan Presiden Jokowi. Di belakang Erick Tohir, ada Boy Tohir, seorang pebisnis ulung yang sangat sukses. Anda pasti tahu kenapa saya sebutkan Boy Tohir di sini.
Kita semua patut mendoakan yang terbaik untuk LBP dan untuk bangsa ini. Ialah penyeimbang dari kekuatan yang dimiliki PDIP, partai pemenang pemilu. Ialah yang menyelamatkan marwah Jokowi sebagai presiden RI dari sekedar petugas partai. Tanpa LBP, kekuatan bisa menjadi tidak seimbang. Jokowi boleh jadi akan menjadi petugas partai, bukan Presiden dengan full otoritas dalam mengelola negeri ini.
Jakarta, 13 Oktober 2023
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa